Rabu, 06 Maret 2013

Wonder Ice

Wonder Ice adalah sebuah acara yang ditujukan untuk anak-anak dan bertujuan agar anak pintar Indonesia tidak hanya dapat membayangkan tertapi juga dapat merasakan dinginnya musim salju yang tidak pernah terjadi di Indonesia. Wonder Ice akan dilaksanakan pada tanggal 19-23 Juni 2013 di Gedung Wanitatama Yogyakarta.

Untuk info lebih lanjut kunjungi www.samuderalangit9.com atau klik pada gambar

Minggu, 17 Februari 2013

Peran Orangtua Dalam Mengembangkan Kreativitas Anak

Apa itu kreativitas?
Sebagai gambaran, seorang ibu dan anaknya berjalan sepulang sekolah menunggu supirnya. Kemudian si anak melihat mobil angkutan umum hanya diam dan kemudian anak menanyakan pada ibunya. Kemudian ibu memberikan berbagai jawaban, mungkin mogok, bensin habis, mesinnya rusak, namun anak menyangkal semua jawaban ibunya. Kemudian si ibu memiliki ketidaksabaran dalam menjawab pertanyaan dengan terburu-buru dan memotong perkataan si anak. Padahal jika ibu tidak menyerah, mau mendengarkan dan menjawab ibu belum baca buku "tidak tau kenapa mobil angkutan umum itu diam", anak akan memberikan jawaban yang sangat mengejutkan dan tidak diduga, itulah kreativitas.

Kreativitas berkaitan dengan cara berpikir terbalik. Apa maksudnya?
Pada kesempatan seminar online kali ini, Kak Andi memaparkan dengan berbagai contoh atau pengalaman yang sudah pernah beliau lewati, bukan hanya teori-teori. Saat beliau duduk dikelas 1 SD bermain sepeda bersama ayahnya, berjalan disekitar kolam dan beliau melihat ular. Kemudian menyampaikan hal itu pada ayahnya, "Papa, ularnya saya tangkap yah?". Respon yang diberikan ayah tidak dengan melarang, padahal sang ayah takut dengan ular. Tapi ayah menyambut dengan baik dengan menyatakan, "kamu berani dengan ular?". Kalau kamu berani, kamu pegang kepalanya dan hati-hati. Disini sang ayah memberikan 2 pesan. Bagaimana tekhnik menangkap dan kehati-hatian untuk tidak sombong dan arogan. Sang ayah yang kreatif dan tidak memandang situasi tersebut dengan cara berpikirnya atau tidak dengan cara ketakutannya, dan tidak dengan cara orang dewasa, tapi didukung dengan tekhnik dan kehati-hatian.
Jadi maksud dari kreativitas berkaitan dengan cara berpikir terbalik. Ketika semua orang merasa takut, tapi seseorang justru merasa berani. Pengalaman masa lalu Kak Andi ini menjadikan beliau profesional dalam bidang menangkap ular. Ini hasil dari Total Past Learning ketika beliau masih kecil.

Bagaimana peran orang tua dalam kreativitas anak-anak?
Jika keluarga mampu memancing dan memicu kreativitas anak-anaknya sejak masih kecil, ini akan menjadi luar biasa. Stimulasi dari orang tua dapat membuat anak berpikir. Hal-hal yang membuat seorang anak berpikir, bahkan kedua otak kanan dan kirinya, itulah yang menghasilkan kreativitas.
Sebagai contoh, seorang anak menyatakan gambaran awan sebagai kelinci. Tapi orang tua menggambarkan awan dengan bagaimana proses awan tersebut terjadi. Dimana gambaran yang diberikan oleh orang tua merupakan gambaran dari dunia orang dewasa, sedangkan anak akan menjawab dengan imajinasinya. Sehingga kita perlu menjawab dengan dunia si anak-anak. Karena dapat memancing kreativitas anak, kita perlu dunianya dan sesuai dengan zamannya.

Bagaimana caranya mendidik anak dengan cara yang kreatif?
Seseorang yang punya bakat bagus, tapi tidak pernah dilatih akan kalah dengan anak yang terus diberi stimulan atau pupuk kreativitogenik. Pupuk kreativitas merupakan hal-hal yang mendorong anak untuk berpikir, untuk berbuat sesuatu, untuk memecahkan masalah, itulah pupuk kreativitas dari orang dewasa. Karena sering kali orang dewasa melihat hal yang baik pada anak, tapi dorongan-dorongan tidak pernah muncul.
Kreativitas tidak hanya berkaitan dengan otak saja,  tapi hati juga. Sehingga ketika seseorang didorong kreatif tapi hanya bagian logikanya saja, maka tidak bisa.
Anak-anak dipengaruhi oleh pola asuh. Pola asuh kreatif berdekatan dengan pola asuh demokrasi. Anak-anak membutuhkan potensi orang dewasa untuk memacu potensi hebatnya. Ketika orang tua ingin memuji gambar anaknya dengan menyatakan "gambarnya bagus". Padahal yang dibutuhkan anak tidak hanya pujian tapi berkaitan dengan pemecahan masalah. Kreativitas itu bukan hanya komposisi warna atau warna yang orang tua sukai, tapi berkaitan dengan pemecahan masalah.
Misalnya "bagaimana caranya agar anjing dan kucing tidak bertengkar?". Masing-masing anak akan memberikan jawaban yang berbeda. Anak pertama menjawab dengan memberi makan masing-masing hewan tersebut agar tidak bertengkar, anak kedua memberikan jawaban yaitu dengan mengikat makanan pada hewan tersebut pada ekornya masing-masing, anak ketiga menjawab dengan memberi borgol pada masing-masing kaki-kaki hewan tersebut, anak keempat memberikan jawaban dengan meletakkan hewan tersebut didalam jurang yang terpisah. Anak-anak akan memecahkan masalah-masalah yang kreatif ini, apabila diberi stimulan atau pemicu dengan kata-kata "misalnya".
Memberikan apresiasi dan kebanggaan pada anak juga penting. Karena anak-anak akan terbuka dengan kreativitasnya. Kreativitas yang sudah dibiasakan sejak dini, akan dibawanya sampai dewasa. Bukan hanya sekedar kreativitas seni, tapi kreativitas memecahkan masalah hidup.

Apakah kreativitas berhubungan dengan percaya diri?
Kepercayaan diri seorang anak akan berpengaruh pada kemampuannya sendiri. Seseorang yang mempunyai percaya diri, dia akan cenderung untuk mencoba sesuatu. Sehingga anak akan mendapatkan banyak pengalaman dan percaya dirinya semakin meningkat.
Anak-anak membutuhkan dorongan keberanian, mencoba, berpikir, tidak hanya sebuah dikte atau asupan berupa modal-modal yang diberikan orang tua.
Dalam kreativitas, anak-anak memiliki ide-ide original pada usia Balita, karena the potensial creativ use pada balita masih luar biasa. Dalam penelitian, potensial kreativ yang digunakan pada usia balita mencapai 95-98 %. Kreativitas sebaiknya sudah diperkenalkan atau dibiasakan sejak dalam kandungan, misal dengan membacakan dongeng. Biasanya akan terlihat pada usia 1 tahun dengan banyak bercerita.

sumber

Mainan Dari Barang Bekas Mengembangkan Kreativitas Anak

Mengajak anak bermain tak harus dengan mainan baru. Benda-benda di rumah dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kreativitas anak. Yuk kita lihat apa saja yang bisa dimanfaatkan.

* Kertas majalah bekas
Barang bekas satu ini bisa menjadi media bagi anak belajar melipat dan menggunting. Ajari ia bagaimana membentuk pesawat, binatang, rumah, topi, menggunakan kertas bekas itu. Pilihlah bentuk-bentuk dengan lipatan sederhana supaya anak bisa mengikutinya dengan mudah. Ajak ia menggunting gambar atau foto yang ada di dalam kertas bekas majalah. Kemampuan motoriknya sudah lebih baik sehingga kita bisa meminta ia untuk menggunting sesuai garis atau gambar. Gunakan gunting anak yang tidak terlalu tajam supaya aman.
Setelah mengajarkan melipat dan menggunting, ajak ia mengimajinasikan benda-benda yang sudah dihasilkannya. Contoh, berimajinasi tentang pesawat yang sedang terbang, mengimajinasikan binatang yang sedang mencari makan, mengimajinasikan rumah yang indah, memakai topi tentara, dan lainnya. Potongan-potongan guntingan pun bisa kita imajinasikan sesuai bentuknya. Dengan aktivitas ini anak akan mendapat lebih banyak manfaat.

* Kardus atau kaleng bekas
Tentu perlu kaleng yang tidak berbahaya yang tidak memiliki sisi-sisi yang tajam. Kardus pun sebaiknya yang masih bersih, tidak kotor atau sudah dimakan rayap. Dengan kardus dan kaleng bekas kita bisa mengajak anak bermain balok susun, membuat rumah-rumahan, bermain peran dengan menjadikan kardus sebagai tempat jualan, dan lainnya.

* Di kamar mandi
Kamar mandi pun bisa dijadikan arena "eksperimen" yang mengasyikkan.  Ajak anak bermain tuang air dengan menggunakan ciduk dan ember. Kita bisa mengenalkan spasial dimana kemampuan ciduk menampung air lebih sedikit dibandingkan ember. Kita pun bisa bermain tiup sabun dimana ada udara/angin yang bergerak ketika kita meniup. Tentu masih banyak yang lainnya.

Asah Kreativitas Anak Tanpa Banyak Kata "Jangan"

Budaya melarang dan tidak mentolerir kegagalan diyakini akan berdampak pada generasi yang tidak berani berkreasi dan lebih suka berada dalam zona nyaman. Terlalu banyak kata "jangan" dan "tak boleh" akan mematikan kreativitas anak-anak yang tentunya akan berdampak pada pembangunan bangsa ini ke depannya.

Pendiri Indonesia Heritage Foundation, Ratna Megawangi, mengatakan bahwa umumnya anak-anak ini tumbuh menjadi pengekor saja karena takut salah. Mereka tidak berani mengembangkan diri dan mengeluarkan ide kreatif karena ada kekhawatiran tidak sesuai dengan apa yang diajarkan guru di sekolah.

"Seringkali anak dimarahi karena jawaban tidak sesuai padahal sebenarnya tidak salah. Akhirnya, anak-anak ini cari aman dengan menjawab apa yang diinginkan guru," kata Ratna, saat National Educators Conference di Mulia Business Park, Jakarta, Selasa (11/12/2012).

Untuk itu, para guru harusnya mulai membuka diri terhadap jawaban anak-anak dan menghargai proses anak dalam memperoleh jawaban. Dengan cara seperti itu, anak-anak tidak akan takut berkreasi dan berani berimajinasi serta mengambil risiko untuk menciptakan sesuatu yang baru.

"Orang tua juga sama. Jangan terus memarahi saja karena nilai jelek. Tapi tanyakan apa kendalanya, ajak cari solusi bersama. Yang ada sekarang karena takut nilai jelek, anak-anak berlomba dapat nilai bagus tanpa mempedulikan sekitar. Tidak bagus juga untuk tumbuh kembangnya," jelas Ratna.

Hal senada juga diungkapkan oleh perwakilan dari Mien R. Uno Foundation, Sandiaga Uno. Ia bercerita bahwa sejak kecil telah dibiasakan oleh orang tuanya untuk tidak mudah menyerah dalam mencapai sesuatu. Tidak hanya itu, ia juga dididik berdiskusi dan didorong untuk mencari jalan keluar dari masalah-masalah kecil yang sedang dihadapi.

"Orang tua saya tidak hanya sekadar mengatakan apa yang harus dilakukan. Tapi mereka terus mendorong saya untuk berusaha mencari jawaban dan solusi," ujar Sandi.

"Kalau gagal juga tidak terus dimarahi tapi justru diberi semangat terus untuk bangkit biar si anak mau mencoba lagi," tandasnya.

Periode Sensitif Anak Menurut Montessori

Pendidikan dimulai sejak lahir. Tahun-tahun pertama adalah masa-sama sangat formatif, paling penting bagi anak untuk membangun pondasi dirinya, baik secara fisik maupun mental.
Menurut Maria Montessori, tokoh pendidikan Italia yang pemikirannya banyak dipakai hingga saat ini, seorang anak mempunyai hal yang disebut periode-periode sensitif (sensitive periods). Selama masa ini, anak secara khusus mudah menerima stimulasi-stimulasi tertentu.
Pengenalan mengenai periode-periode ini akan membantu orangtua untuk membantu anak memahami dan menguasai lingkungannya. Selain itu, orangtua dapat memberikan stimulus yang tepat kepada anak pada waktu yang tepat dengan cara mengamati apa yang terjadi pada anak.
Periode-periode sensitif itu menurut Maria Montessori adalah:
  • Lahir – 3 tahun: pikiran dapat menyerap pengalaman-pengalaman sensoris
  • 1,5 – 3 tahun: perkembangan bahasa
  • 1,5 – 4 tahun: koordinasi dan perkembangan otot, minat pada benda-benda kecil
  • 2 – 4 tahun: peneguhan gerakan, minat pada kebenaran dan realitas, menyadari urutan dalam waktu dan ruang
  • 2,5 – 6 tahun: peneguhan sensoris
  • 3 – 6 tahun: rawan pengaruh orang dewasa
  • 3,5 – 4,5 tahun: menulis
  • 4 – 4,5 tahun: kepekaan indera
  • 4,5 – 5,5 tahun: membaca
(Sumber: Montessori untuk pra-sekolah, Elizabeth G. Hainstock)

sumber

4 Dampak Negatif 'Gadget' pada Prestasi Anak

Gadget tidak hanya membuat anak cuek selama berjam-jam, tapi juga disinyalir dapat menurunkan prestasi anak kelak saat ia masuk jenjang sekolah. Ini sesuai dengan pengamatan sederhana Sekolah Putik Indonesia terhadap empat siswanya, yang duduk di kelas yang sama dan mendapat perlakuan sama.

Pengamatan ini dimulai sejak mereka duduk di kelas Dede (pendidikan untuk anak usia prasekolah). Tiga siswa memiliki usia yang sama yakni tiga tahun, sedangkan yang satu 2,5 tahun. Keempat siswa ini memiliki kemampuan sama, yang membedakan adalah hobinya.

Tiga siswa senang menggunakan gadget, sedangkan yang satu (berusia 2,5 tahun) lebih menyukai membaca dan tidak tergila-gila dengan gadget. Dalam kesehariannya, tiga siswa ini aktif memainkan gadget. Berdasarkan pengamatan perilaku di rumah, dari ketiga anak itu, satu anak bermain gadget secara tidak terkontrol, atau mendapat kebebasan penuh untuk menggunakan gadget. Sedangkan dua anak lainnya terkontrol. Artinya, mereka diizinkan menggunakan gadget namun ada batasan waktu, meski tidak terlalu ketat. Dalam artian bisa lebih dari satu jam, namun tetap tidak diberi kebebasan penuh.

Sepanjang mengikuti jenjang pendidikan di Sekolah Putik Indonesia, keempat siswa ini selalu satu kelas, sehingga sepanjang mengikuti pendidikan di sekolah, mereka mendapat perlakuan sama. Hasilnya, terlihat saat mereka duduk di bangku sekolah dasar. Prestasi tiga anak yang terpapar gadget terlihat menurun dibandingkan satu siswa yang tidak terpapar gadget.

Sementara, anak yang rajin membaca dan tidak terpapar gadget, prestasinya semakin baik, bahkan mampu melampaui anak-anak yang terpapar gadget. Menurut hasil pengamatan pihak sekolah, gadget dapat memengaruhi beberapa perkembangan dan prestasi belajar anak, yakni:

1. Mengalami penurunan konsentrasi.
Anak mengalami penurunan konsentrasi saat belajar. Konsentrasinya menjadi lebih pendek dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Anak lebih senang berimajinasi seperti dalam tokoh game yang sering ia mainkan menggunakan gadget-nya.

2. Memengaruhi kemampuan menganalisa permasalahan.

Ketika belajar, anak tidak mau mencari data dan tidak tertantang untuk melakukan analisis. Anak menginginkan sesuatu yang serba cepat dan langsung terlihat hasilnya. Ada pun proses untuk mencapai hasil akhir itu tidak dipedulikan.

3. Malas menulis dan membaca.
Gagdet menjadikan anak malas menulis dan membaca. Dengan perangkat gadget, maka aktivitas menulis menjadi lebih mudah, ini memengaruhi keterampilan menulis anak. Tak hanya itu, perangkat visual pun tampak lebih menarik dan menggoda, karena dapat memperlihatkan sesuai dengan kenyataan. Akibatnya anak-anak menjadi malas membaca. Sebab, membaca menuntut anak untuk mengembangkan imajinasi dari kesimpulan yang dibaca.

4. Penurunan dalam kemampuan bersosialisasi.
Anak menjadi tidak peduli dengan lingkungan sekitar serta tidak memahami etika bersosialisasi. Anak tidak tahu, bila ada banyak orang menginginkan sesuatu yang sama, maka wajib antre agar tertib. Ini terjadi karena anak tidak memahami adanya sebuah proses. Apa yang diinginkan harus segera ada dan terwujud, karena terbiasa mendapat pemahaman melalui games atau tontonan.

6 Aturan Penggunaan 'Gadget' pada Anak

Penggunaan gadget bisa membuat anak keranjingan. Kalau anak mulai gelisah bila beberapa jam saja tidak memainkan gadget, ini petandanya. Celakanya lagi, saat memanfaatkan gadget, anak dituntut berkonsentrasi penuh sehingga ia seolah tidak peduli dengan lingkungan terdekat atau sekitarnya. Bahkan, menurut pengamatan sederhana di Sekolah Putik Indonesia, gadget dapat memengaruhi beberapa perkembangan dan prestasi belajar anak.

Agar gadget tak berdampak buruk pada anak, orangtua perlu menerapkan sejumlah aturan. Berikut pedoman bagi orangtua saat anak menggunakan gadget-nya:

1. Pahami ragam permainan yang ada di perangkat gadget.
Tidak semua permainan atau games baik dan aman untuk anak. Ada banyak unsur negatif seperti kekerasan, perilaku atau kata-kata kasar, dan lainya. Untuk itu, alangkah baik bila orangtua mencoba dan melakukan pengamatan terlebih dahulu sebelum memberikan izin kepada anak untuk bermain.

2. Tempatkan gadget di luar kamar tidur.
Sebaiknya tempatkan perangkat elektronik di ruang keluarga. Sehingga orangtua atau orang dewasa dapat mengawasi permainan yang dipilih prasekolah serta durasi waktu bermainnya.

3. Berikan batasan waktu penggunaan gadget.
Untuk prasekolah tenggang waktu yang dapat ditoleransi adalah 15-30 menit, karena rentang konsentrasi anak masih pendek. Jangan memberikan kesempatan lebih dari 30 menit. Terapkan dengan konsisten. Bila orangtua mudah mengalah oleh bujuk rayu anak, maka anak akan terus "mengakali" orangtuanya.

4. Dampingi anak saat menggunakan gadget.

Sebisa mungkin, dampingi anak ketika ber-gadget, sehingga orangtua dapat mengawasi dan memberikan penjelasan bila ada hal-hal yang tidak dipahami oleh anak.

5. Berikan penjelasan penggunaan gadget.
Sampaikan bahwa gadget bermanfaat untuk mempermudah kerja dan lebih praktis. Saat sedang bepergian, misalnya, kita bisa membaca berita lewat tablet. Untuk itu, pemanfaatnya pun harus bijaksana. Jangan akhirnya, waktu kita banyak tersita oleh gadget daripada interaksi dengan orang-orang yang ada di sekitar.

6. Berikan contoh.
Jadilah teladan terdepan dalam memanfaatkan gadget secara bijak. Jangan sampai orangtua melarang anak berlama-lama bermain game, tapi orangtua sendiri asyik menggunakan ponsel pintar. Kalau bisa, matikan smartphone saat berada di rumah, jalin interaksi dengan anak dan keluarga di rumah.

sumber

Tingkatkan Kreativitas Anak Tak Harus dengan 'Gadget'

Merangsang kreativitas anak memang perlu dilakukan sedini mungkin. Caranya banyak, bisa melalui kegiatan kecil atau terjun langsung pada kegiatan di alam terbuka. Memanfaatkan alat bantu khusus atau dengan perangkat seadanya yang banyak tersedia di sekitar.

Era teknologi yang semakin canggih melahirkan banyak perangkat elektronik yang dapat menjadi alat bantu mengasah kreativitas anak. Gadget adalah barang elektronik berukuran kecil yang didesain secara lebih pintar dibandingkan dengan teknologi normal pada masa penemuannya.

Tak pelak, banyak anak-anak yang keranjingan bermain gadget. Umumnya, anak-anak menggunakan fitur tertentu dalam gadget untuk bermain game, baik online maupun offline. Yang pasti, bila tak dikontrol dengan aturan yang pas, dampak negatif akan lahir dari penggunaannya.

Sebut saja waktu yang dihabiskan seorang anak untuk bermain gadget. Berapa lama dia bermain gadget setiap harinya, setiap bulannya, setiap tahunnya. Tanpa kontrol yang ketat, candu bermain gadget akan semakin melilit anak-anak dan bukan tidak mungkin hal itu akan mengganggu performa akademisnya atau menimbulkan efek psikologis yang jauh lebih berbahaya.

Tokoh anak-anak Phil Gallagher mengatakan, untuk merangsang kreativitas anak-anak sebaiknya tidak menggunakan barang-barang yang masuk dalam kategori teknologi canggih. Para orangtua dapat menyiasatinya dengan alat atau barang seadanya yang lebih sesuai dan secara biaya juga jauh lebih ekonomis.

Baginya, media bermain untuk anak-anak, apa pun tujuannya harus disajikan dengan seimbang dan kontrol serius dari para orangtua. Seimbang secara psikologis, secara waktu penggunaannya, dan seimbang dengan hasilnya.

"Tidak harus menggunakan alat teknologi canggih, banyak benda di sekitar yang jauh lebih murah. Karena yang penting semua harus seimbang," kata pria yang lebih dikenal dengan nama Mister Maker ini, saat ditemui Kompas.com di Jakarta, Jumat (31/8/2012) malam.

Pria asli Inggris ini telah tiga kali mengunjungi anak-anak di Indonesia. Kali ini, dia berencana mengunjungi anak-anak di usia tiga sampai delapan tahun di tiga kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, dan Medan. Selama di Indonesia, dia akan menghadiri lokakarya seni dan kerajinan untuk anak-anak, serta mengunjungi sekolah-sekolah. Setelah Indonesia, dia akan melanjutkan turnya ke Kuala Lumpur dan Singapura. Mister Maker adalah acara yang menghidupkan dunia seni untuk anak dengan cara yang modern, segar, dan inovatif. 

Seni Memuji Anak

Memuji anak adalah sebuah pekerjaan seni, bukan pekerjaan eksak yang bisa ditentukan rumusnya. Efektivitas pujian tak hanya ditentukan oleh cara kita memuji, tetapi juga dipengaruhi oleh karakter anak dalam merespon pujian.
Ada anak-anak yang dipuji sedikit sudah langsung bersemangat. Ada anak yang membutuhkan banyak pujian supaya semangat. Tetapi, ada juga anak-anak yang justru jadi tak semangat kalau terlalu banyak pujian.
Berikut ini beberapa tips tentang pujian kepada anak:

Hindari memuji berlebihan
Puji secukupnya. Jangan terlalu banyak. Jangan menjadi pemujaan pada anak sehingga sedikit-sedikit yang dilakukan anak, Anda langsung memujinya. Terlalu banyak pujian akan menjadikan pujian kurang berharga dan tidak bermakna. Anak juga jadi malas untuk mengembangkan potensi dirinya.

Puji untuk usaha anak
Fokuskan pada usaha, bukan hanya pada hasil. Terkadang, hasil yang diperoleh anak belum sempurna, tetapi niat dan usahanya bagus. Puji perjuangan dan usaha anak. “Terima kasih sudah menolong Mama membereskan tempat tidur.”

Puji secara spesifik, bukan umum
Berikan pujian untuk usaha yang dilakukan anak, bukan untuk anaknya sendiri. Lebih baik mengatakan pujian “prakarya buatanmu keren” daripada memuji “kamu anak yang pandai”.

Pujian bukan toleransi kegagalan
Ketika anak gagal, pujian pada usaha anak dapat menolong anak untuk mengatasi kekecewaannya. Tetapi pujian tetap harus dapat berfungsi memicu anak untuk menjadi lebih baik di waktu yang lain. Jangan sampai, anak merasa bahwa keberhasilan dan kegagalan adalah dua hal yang sama saja.

Pujian tak hanya kata-kata
Pujian tak hanya diwujudkan dengan kata-kata verbal. Pujian bisa ditunjukkan dengan acungan jempol, tepukan bahu, senyuman, belaian di rambut, dan sebagainya. Walaupun Anda tak mengatakan apa-apa, anak tahu bahwa Anda sedang menunjukkan pujian Anda.

Dorong anak memuji orang lain
Supaya anak tak egois dan hanya berfokus pada dirinya sendiri, perlihatkan contoh dengan memuji anak lain atau karya lain di depan anak Anda. Lakukan pujian kepada siapapun yang berhak dipuji: pasangan, adik, tetangga, pembantu, atau siapapun. Sesekali minta anak untuk berpendapat dan mengapresiasi karya/prestasi anak lain.

Belajar Berdasarkan Jenis Kecerdasan

Menurut teori Kecerdasan Majemuk, setiap jenis kecerdasan memiliki metode/cara belajar yang berbeda-beda. Bukan berarti mereka tak bisa menerima metode/cara belajar yang lain. Tetapi, cara belajar tertentu memberikan penyerapan yang lebih baik bagi mereka. Inilah metode/cara belajar anak berdasarkan jenis-jenis kecerdasannya (“Menerapkan Multiple Intelligences di Sekolah”, Thomas Armstrong)
Metode Belajar Anak Cerdas Bahasa
  • kuliah
  • diskusi kelompok besar maupun kecil
  • buku-buku umum
  • kertas kerja
  • buku pedoman
  • brainstorming
  • menulis
  • permainan kata-kata
  • sharing
  • pidato siswa
  • bercerita
  • kaset/CD dan audiobook
  • bicara di depan umum secara spontan
  • debat
  • menulis jurnal
  • deklamasi
  • membaca untuk diri sendiri
  • membaca di depan kelas
  • menghafalkan fakta-fakta linguistik
  • merekam pembicaraan/pidato/wawancara
  • menggunakan word processor
  • publikasi (membuat majalah dinding)
Metode Belajar Anak Cerdas Matematis-Logis
  • soal-soal matematika
  • pertanyaan ala Socrates
  • demonstrasi ilmiah
  • latihan pemecahan dengan logis
  • klasifikasi dan kategorisasi
  • menciptakan kode
  • game dan teka-teki logika
  • kalkulasi dan kuantifikasi
  • pemrograman
  • penalaran ilmiah
  • presentasi suatu topik dengan urutan logis
Metode Belajar Anak Cerdas Spasial
  • grafik, diagram, peta
  • visualisasi
  • fotografi
  • video, slide, dan film
  • labirin dan teka-teki visual
  • kotak perangkat konstruksi 3D
  • apresiasi seni
  • pembacaan cerita imajinatif
  • metafora gambar
  • berkhayal kreatif
  • melukis, kolase, dan seni visual lain
  • sketsa gagasan
  • latihan berfikir visual
  • simbol grafis
  • mind-mapping dan pemetaan visual lainnya
  • software grafis komputer
  • mencari pola visual
  • ilusi optik
  • penggunaan warna
  • kegiatan yang membangkitkan kesadaran visual
  • software lukis-dan-gambar
  • software merancang dengan bantuan komputer
  • komik
Kecerdasan Kinestetis-Jasmani
  • gerakan kreatif
  • hands-on thinking
  • karyawisata
  • pantomim
  • teater kelas
  • game yang kooperatif dan kompetitif
  • latihan kesadaran fisik
  • semua bentuk kegiatan yang distimulasi gerak tubuh
  • prakarya (craft)
  • peta tubuh
  • memasak, berkebun, dan kegiatan “yang menyibukkan” lainnya
  • mengutak-atik barang
  • virtual reality software
  • konsep kinestetis-jasmani
  • kegiatan pendidikan jasmani
  • komunikasi dengan bahasa tubuh/isyarat
  • latihan-latihan relaksasi fisik
Kecerdasan Musik
  • konsep musik
  • bernyanyi, bersiul, bersenandung
  • memainkan lagu rekaman
  • memainkan lagu dengan piano, gitar, atau alat musik lain
  • bernyanyi bersama
  • apresiasi musik
  • bermain perkusi
  • irama, lagu, rap, senandung
  • menggunakan musik latar
  • menghubungkan nada dengan konsep tertentu
  • diskografi
  • menciptakan melodi baru untuk suatu konsep
  • mendengaran imaji musik dari dalam diri
  • software musik
Kecerdasan Interpersonal
  • kerja kelompok
  • interaksi interpersonal
  • menengahi konflik
  • mengajari teman sekelas
  • game dengan papan permainan
  • tutorial antar-angkatan
  • sesi curah gagasan dalam kelompok
  • berbagi rasa dengan teman sekelas
  • kegiatan kemasyarakatan
  • magang
  • simulasi
  • perkumpulan akademis
  • sofware interaktif
  • pesta atau pertemuan sosial
Kecerdasan Intrapersonal
  • belajar sendiri/mandiri
  • momentum mengekspresikan perasaan
  • pengajaran yang disusun sendiri
  • game dan kegiatan individual
  • ruang belajar pribadi
  • sesi refleksi
  • interest center
  • hubungan materi pelajaran dengan kehidupan pribadi
  • alternatif pilihan untuk pekerjaan rumah
  • waktu memilih
  • pengajaran-sendiri terencana
  • terbuka untuk kurikulum yg membangkitkan inspirasi atau motivasi
  • kegiatan yang mendukung penghargaan terhadap diri-sendiri
  • mengumpulkan jurnal
  • sesi perumusan tujuan
Kecerdasan Naturalis
  • jalan-jalan di alam terbuka
  • akuarium, terarium, dan ekosistem portabel lain
  • berkebun
  • membawa binatang piaraan ke kelas
  • video, film, film layar lebar ttg alam
  • peralatan studi alam (teropon, teleskop, mikroskop)
  • studi ekologi
  • tanaman sebagai dekorasi
  • belajar dengan melihat keluar jendela
sumber

Anak-anak Karbitan

Anak-anak yang digegas Menjadi cepat mekar Cepat matang Cepat layu…
Pendidikan bagi anak usia dini sekarang tengah marak-maraknya. Dimana mana orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga persekolahan yang ada. Mereka pun berlomba untuk memberikan anak-anak mereka pelayanan pendidikan yang baik. Taman kanak-kanak pun berdiri dengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa. Kursus-kursus kilat untuk anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam bentuk pendidikan ini amat beragam. Mulai dari yang puluhan ribu hingga jutaan rupiah per bulannya. Dari kursus yang dapat membuat otak anak cerdas dan pintar berhitung, cakap berbagai bahasa, hingga fisik kuat dan sehat melalui kegiatan menari, main musik dan berenang. Dunia pendidikan saat ini betul-betul penuh dengan denyut kegairahan. Penuh tawaran yang menggiurkan yang terkadang menguras isi kantung orangtua …
Captive market! Kondisi diatas terlihat biasa saja bagi orang awam. Namun apabila kita amati lebih cermat, dan kita baca berbagai informasi di intenet dan lileratur yang ada tentang bagaimana pendidikan yang patut bagi anak usia dini, maka kita akan terkejut! Saat ini hampir sebagian besar penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak usia dini melakukan kesalahan. Di samping ketidakpatutan yang dilakukan oleh orang tua akibat ketidak tahuannya!

Anak-Anak Yang Digegas…
Ada beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadap anak. Diantaranya yang paling menonjol adalah orientasi pada kemampuan intelektual secara dini. Akibatnya bermunculanlah anak-anak ajaib dengan kepintaran intelektual luar biasa. Mereka dicoba untuk menjalani akselerasi dalam pendidikannya dengan memperoleh pengayaan kecakapan-kecakapan akademik di dalam dan di luar sekolah. Kasus yang pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar karbitan ini terjadi pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker. Terjadi pada seorang anak yang bernama William James Sidis, putra seorang psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard College walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya di bidang matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak jenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian? James Thurber, seorang wartawan terkemuka, pada suatu hari menemukan seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Si anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum pada beberapa waktu silam.
Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi pada seorang anak perempuan bernama Edith. Terjadi pada tahun 1952, di mana seorang Ibu yang bernama Aaron Stern telah berhasil melakukan eksperimen menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan kognitif anaknya, sejak si anak masih berupa janin. Baru saja bayi itu lahir ibunya telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang bayi. Kemudian diajak berbicara dengan menggunakan bahasa orang dewasa. Setiap saat sang bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan kosa kata baru. Hasilnya sungguh mencengangkan! Di usia 1 tahun Edith telah dapat berbicara dengan kalimat sempurna. Di usia 5 tahun Edith telah menyelesaikan membaca ensiklopedi Britannica. Usia 9 tahun ia membaca enam buah buku dan Koran New York Times setiap harinya. Usia 12 tahun dia masuk universitas. Ketika usianya menginjak 15 tahun la menjadi guru matematika di Michigan State University. Aaron Stem berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga.
Namun khabar Edith selanjutnya juga tidak terdengar lagi ketika ia dewasa. Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia menjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa. Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang terkenal yang berhasil mengguncang dunia dengan penemuannya. Di saat mereka kecil mereka hanyalah anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel sebagai murid yang dungu.
Seperti halnya Einstien yang mengalami kesulitan belajar hingga kelas 3 SD. Dia dicap sebagai anak bebal yang suka melamun. Selama berpuluh-puluh tahun orang begitu yakin bahwa keberhasilan anak di masa depan sangat ditentukan oleh faktor kognitif. Otak memang memiliki kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh karena itu banyak orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan “Early Childhood Training”. Era pemberdayaan otak mencapai masa keemasannya. Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang super (Superkids). Kurikulum pun dikemas dengan muatan 90 % bermuatan kognitif yang mengfungsikan belahan otak kiri. Sementara fungsi belahan otak kanan hanya mendapat porsi 10% saja. Ketidakseimbangan dalam memfungsikan ke dua belahan otak dalam proses pendidikan di sekolah sangat mencolok. Hal ini terjadi sekarang di mana-mana, di Indonesia.

“Early Ripe, early Rot…!”
Gejala ketidakpatutan dalam mendidik ini mulai terlihat pada tahun 1990 di Amerika. Saat orangtua dan para professional merasakan pentingnya pendidikan bagi anak-anak semenjak usia dini. Orangtua merasa apabila mereka tidak segera mengajarkan anak-anak mereka berhitung, membaca dan menulis sejak dini maka mereka akan kehilangan “peluang emas” bagi anak-anak mereka selanjutnya. Mereka memasukkan anak-anak mereka sesegera mungkin ke Taman Kanak-kanak (Pra Sekolah). Taman Kanak-kanak pun dengan senang hati menerima anak-anak yang masih berusia di bawah usia 4 tahun. Kepada anak-anak ini gurunya membelajarkan membaca dan berhitung secara formal sebagai pemula.
Terjadinya kemajuan radikal dalam pendidikan usia dini di Amerika sudah dirasakan saat Rusia meluncurkan Sputnik pada tahun 1957. Mulailah “Era Headstart” merancah dunia pendidikan. Para akademisi begitu optimis untuk membelajarkan wins dan matematika kepada anak sebanyak dan sebisa mereka (tiada berhingga). Sementara mereka tidak tahu banyak tentang anak, apa yang mereka butuhkan dan inginkan sebagai anak.
Puncak keoptimisan era Headstart diakhiri dengan pernyataan Jerome Bruner, seorang psikolog dari Harvard University yang menulis sebuah buku terkenal “The Process of Education” pada tahun 1990. Ia menyatakan bahwa kompetensi anak untuk belajar sangat tidak berhingga. Inilah buku suci pendidikan yang mereformasi kurikulum pendidikan di Amerika . “We begin with the hypothesis that any subject can be taught effectively in some intellectually honest way to any child at any stage of development”.
Inilah kalimat yang merupakan hipotesis Bruner yang di salahartikan oleh banyak pendidik, yang akhirnya menjadi bencana! Pendidikan dilaksanakan dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang dan cepat busuk… early ripe, early rot!
Anak-anak menjadi tertekan. Mulai dari tingkat pra sekolah hingga usia SD. Di rumah para orangtua kemudian juga melakukan hal yang sama, yaitu mengajarkan sedini mungkin anak-anak mereka membaca ketika Glenn Doman menuliskan kiat-kiat praktis membelajarkan bayi membaca.
Bencana berikutnya datang saat Arnold Gesell memaparkan konsep “kesiapan-readiness ” dalam ilmu psikologi perkembangan temuannya yang mendapat banyak decakan kagum. Ia berpendapat tentang “biological limititations on learning’. Untuk itu ia menekankan perlunya dilakukan intervensi dini dan rangsangan inlelektual dini kepada anak agar mereka segera siap belajar apapun.
Tekanan yang bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di sekolah membuat anak-anak menjadi cepat mekar. Anak -anak menjadi “miniature orang dewasa “. Lihatlah sekarang, anak-anak itu juga bertingkah polah sebagaimana layaknya orang dewasa. Mereka berpakaian seperti orang dewasa, berlaku pun juga seperti orang dewasa. Di sisi lain media pun merangsang anak untuk cepat mekar terkait dengan musik, buku, film, televisi, dan internet. Lihatlah maraknya program teve yang belum pantas ditonton anak anak yang ditayangkan di pagi atau pun sore hari. Media begitu merangsang keingintahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa. sebagai seksual promosi yang menyesatkan. Pendek kata media telah memekarkan bahasa, berpikir dan perilaku anak tumbuh kembang secara cepat.
Tapi apakah kita tahu bagaimana tentang emosi dan perasaan anak? Apakah faktor emosi dan perasaan juga dapat digegas untuk dimekarkan seperti halnya kecerdasan? Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu dan ritmenya sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit. Bisa saja anak terlihat berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi perasaan mereka tidak seperti orang dewasa. Anak-anak memang terlihat tumbuh cepat di berbagai hal tetapi tidak di semua hal. Tumbuh mekarnya emosi sangat berbeda dengan tumbuh mekarnya kecerdasan (intelektual) anak. Oleh karena perkembangan emosi lebih rumit dan sukar, terkait dengan berbagai keadaan, Cobalah perhatikan, khususnya saat perilaku anak menampilkan gaya “kedewasaan “, sementara perasaannya menangis berteriak sebagai “anak”.
Seperti sebuah lagu popular yang pernah dinyanyikan suara emas seorang anak laki-laki “Heintje” di era tahun 70-an… I’m Nobody’S Child I’M NOBODY’S CHILD I’M nobody’s child I’m nobodys child Just like a flower I’m growing wild No mommies kisses and no daddy’s smile Nobody’s louch me I’m nobody’s child.
Dampak berikutnya terjadi … ketika anak memasuki usia remaja. Akibat negatif lainnya dari anak-anak karbitan terlihat ketika ia memasuki usia remaja. Mereka tidak segan segan mempertontonkan berbagai macam perilaku yang tidak patut. Patricia O’Brien menamakannya sebagai “The Shrinking of Childhood”. Lu belum tahu ya… bahwa gue telah melakukan segalanya”, begitu pengakuan seorang remaja pria berusia 12 tahun kepada teman-temannya. “Gue tahu apa itu minuman keras, drug, dan seks ” serunya bangga.
Berbagai kasus yang terjadi pada anak-anak karbitan memperlihatkan bagaimana pengaruh tekanan dini pada anak akan menyebabkan berbagai gangguan kepribadian dan emosi pada anak. Oleh karena ketika semua menjadi cepat mekar…. kebutuhan emosi dan sosial anak jadi tak dipedulikan! Sementara anak sendiri membutuhkan waktu untuk tumbuh, untuk belajar dan untuk berkembang, sebuah proses dalam kehidupannya !
Saat ini terlihat kecenderungan keluarga muda lapisan menengah ke atas yang berkarier di luar rumah tidak memiliki waktu banyak dengan anak-anak mereka. Atau pun jika si ibu berkarier di dalam rumah, ia lebih mengandalkan tenaga “baby sitter” sebagai pengasuh anak-anaknva. Colette Dowling menamakan ibu-ibu muda kelompok ini sebagai “Cinderella Syndrome” yang senang window shopping, ikut arisan, ke salon memanjakan diri, atau menonton telenovela atau buku romantis. Sebagai bentuk ilusi menghindari kehidupan nyata yang mereka jalani.
Kelompok ini akan sangat bangga jika anak-anak mereka bersekolah di lembaga pendidikan yang mahal, ikut berbagai kegiatan kurikuler, ikut berbagai Les, dan mengikuti berbagai arena, seperti lomba penyanyi cilik, lomba model ini dan itu. Para orangtua ini juga sangat bangga jika anak-anak mereka superior di segala bidang, bukan hanya di sekolah. Sementara orangtua yang sibuk juga mewakilkan diri mereka kepada baby sitter terhadap pengasuhan dan pendidikan anak-anak mereka. Tidak jarang para baby sitter ini mengikuti pendidikan parenting di lembaga pendidikan eksekutif sebagai wakil dari orang tua.

ERA SUPERKIDS
Kecenderungan orangtua menjadikan anaknva “be special ” daripada “be average or normal” semakin marak terlihat. Orangtua sangat ingin anak-anak mereka menjadi “to excel to be the best”. Sebetulnya tidak ada yang salah. Namun ketika anak-anak mereka digegas untuk mulai mengikuti berbagai kepentingan orangtua untuk menyuruh anak mereka mengikuti beragam kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa, renang, basket, balet, tari ball, piano, biola, melukis, dan banyak lagi lainnya…maka lahirlah anak-anak super—”SUPERKIDS’ “. Cost merawat anak superkids ini sangat mahal.
Era Superkids berorientasi kepada “Competent Child”. Orangtua saling berkompetisi dalam mendidik anak karena mereka percaya “earlier is better”. Semakin dini dan cepat dalam menginvestasikan beragam pengetahuan ke dalam diri anak mereka, maka itu akan semakin baik. Neil Posmant seorang sosiolog Amerika pada tahun 80-an meramalkan bahwa jika anak-anak tercabut dari masa kanak-kanaknya, maka lihatlah… ketika anak anak itu menjadi dewasa, maka ia akan menjadi orang dewasa yang ke kanak-kanakan!

BERBAGAI GAYA ORANGTUA
Kondisi ketidakpatutan dalam memperIakukan anak ini telah melahirkan berbagai gaya orangtua (Parenting Style) yang melakukan kesalahan “mis-education” terhadap pengasuhan pendidikan anak-anaknya. Elkind (1989) mengelompokkan berbagai gaya orangtua dalam pengasuhan, antara lain:

Gourmet Parents– (ORTU B0RJU)
Mereka adalah kelompok pasangan muda yang sukses. Memiliki rumah bagus, mobil mewah, liburan ke tempat-tempat yang eksotis di dunia, dengan gaya hidup kebarat baratan. Apabila menjadi orangtua maka mereka akan cenderung merawat anak-anaknya seperti halnya merawat karier dan harta mereka. Penuh dengan ambisi! Berbagai macam buku akan dibaca karena ingin tahu isu-isu mutakhir tentang cara mengasuh anak. Mereka sangat percaya bahwa tugas pengasuhan yang baik seperti halnya membangun karier, maka “superkids” merupakan bukti dari kehebatan mereka sebagai orangtua. Orangtua kelompok ini memakaikan anak-anaknya baju-baju mahal bermerek terkenal, memasukkannya ke dalam program-program eksklusif yang prestisius. Keluar masuk restoran mahal. Usia 3 tahun anak-anak mereka sudah diajak tamasya keliling dunia mendampingi orangtuanya. Jika suatu saat kita melihat sebuah sekolah yang halaman parkirnya dipenuhi oleh berbagai merek mobil terkenal, maka itulah sekolah banyak kelompok orangtua “gourmet ” atau kelompok borju menyekolahkan anak-anaknya.

College Degree Parents — (ORTU INTELEK )
Kelompok ini merupakan bentuk lain dari keluarga intelek yang menengah ke atas. Mereka sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Sering melibatkan diri dalam barbagai kegiatan di sekolah anaknya. Misalnya membantu membuat majalah dinding dan kegiatan ekstra kurikular lainnya. Mereka percaya pendidikan yang baik merupakan pondasi dari kesuksesan hidup. Terkadang mereka juga tergiur menjadikan anak-anak mereka “Superkids “, apabila si anak memperlihatkan kemampuan akademik yang tinggi. Terkadang mereka juga memasukkan anak-anaknya ke sekolah mahal yang prestisius sebagai bukti bahwa mereka mampu dan percaya bahwa pendidikan yang baik tentu juga harus dibayar dengan pantas. Kelebihan kelompok ini adalah sangat peduli dan kritis terhadap kurikulum yang dilaksanakan di sekolah anak anaknya. Dan dalam banyak hal mereka banyak membantu dan peduli dengan kondisi sekolah.

Gold Medal Parents –(ORTU SELEBRITIS )
Kelompok ini adalah kelompok orangtua yang menginginkan anak-anaknya menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Mereka sering mengikutkan anaknya ke berbagai kompetisi dan gelanggang. Ada gelanggang ilmu pengetahuan seperti Olimpiade matematika dan sains yang akhir-akhir ini lagi marak di Indonesia . Ada juga gelanggang seni seperti ikut menyanyi, kontes menari, terkadang kontes kecantikan. Berbagai cara akan mereka tempuh agar anak-anaknya dapat meraih kemenangan dan menjadi “seorang Bintang Sejati “. Sejak dini mereka persiapkan anak-anak mereka menjadi “Sang Juara”, mulai dari juara renang, menyanyi dan melukis hingga none abang cilik kelika anak-anak mereka masih berusia TK.
Sebagai ilustrasi dalam sebuah arena lomba ratu cilik di Padang puluhan anak-anak TK baik laki-laki maupun perempuan tengah menunggu di mulainya lomba pakaian adat. Ruangan yang sesak, penuh asap rokok, dan acara yang molor menunggu datangnya tokoh anak dari Jakarta. Anak-anak mulai resah, berkeringat, mata memerah karena keringat melelehi mascara anak kecil mereka. Para orangtua masih bersemangat, membujuk anak-anaknya bersabar.
Mengharapkan acara segera di mulai dan anaknya akan kelular sebagai pemenang. Sementara pihak penyelenggara mengusir panas dengan berkipas kertas. Banyak kasus yang mengenaskan menimpa diri anak akibat perilaku ambisi kelompok gold medal parents ini. Sebagai contoh pada tahun 70-an seorang gadis kecil pesenam usia TK mengalami kelainan tulang akibat ambisi ayahnya yang guru olahraga. Atau kasus “bintang cilik” Yoan Tanamal yang mengalami tekanan hidup dari dunia glamour masa kanak-kanaknya. Kemudian menjadikannya pengguna dan pengedar narkoba hingga menjadi penghuni penjara. Atau bintang cilik dunia Heintje yang setelah dewasa hanya menjadi pasien dokter jiwa. Gold medal parent menimbulkan banyak bencana pada anak-anak mereka!
Pada tanggal 29 Mei lalu kita saksikan di TV bagaimana bintang cilik “Joshua” yang bintangnya mulai meredup dan mengkhawatirkan orangtuanya. Orangtua Joshua berambisi untuk kembali menjadikan anaknya seorang bintang dengan kembali menggelar konser tunggal. Sebagian dari kita tentu masih ingat bagaimana lucu dan pintarnya Joshua ketika berumur kurang 3 tahun. Dia muncul di TV sebagai anak ajaib karena dapat menghapal puluhan nama-nama kepala negara. Kemudian di usia balitanya dia menjadi penyanyi cilik terkenal. Kita kagum bagaimana seorang bapak yang tamatan SMU dan bekerja di salon dapat membentuk dan menjadikan anaknya seorang “superkid” –seorang penyanyi sekaligus seorang bintang film….

Do-it Yourself Parents
Merupakan kelompok orangtua yang mengasuh anak-anaknya secara alami dan menyatu dengan semesta. Mereka sering menjadi pelayan professional di bidang sosial dan kesehatan, sebagai pekerja sosial di sekolah, di tempat ibadah, di Posyandu dan di perpustakaan. Kelompok ini menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri yang tidak begitu mahal dan sesuai dengan keuangan mereka. Walaupun begitu kelompok ini juga bemimpi untuk menjadikan anak-anaknya “Superkids” –earlier is better”. Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak mereka diajak mencintai lingkungannya. Mereka juga mengajarkan merawat dan memelihara hewan atau tumbuhan yang mereka sukai. Kelompok ini merupakan kelompok penyayang binatang, dan mencintai lingkungan hidup yang bersih.

Outward Bound Parents— (ORTU PARANOID)
Untuk orangtua kelompok ini mereka memprioritaskan pendidikan yang dapat memberi kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya. Tujuan mereka sederhana, agar anak-anak dapat bertahan di dunia yang penuh dengan permusuhan. Dunia di luar keluarga mereka dianggap penuh dengan marabahaya. Jika mereka menyekolahkan anak-anaknya maka mereka lebih memilih sekolah yang nyaman dan tidak melewati tempat tempat tawuran yang berbahaya. Seperti halnya Do It Yourself Parents, kelompok ini secara tak disengaja juga terkadang terpengaruh dan menerima konsep “Superkids”. Mereka mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang hebat agar dapat melindungi diri mereka dari berbagai macam marabahaya. Terkadang mereka melatih kecakapan melindungi diri dari bahaya, seperti memasukkan anak-anaknya “Karate, Yudo, pencak Silat” sejak dini. Ketidakpatutan pemikiran kelompok ini dalam mendidik anak-anaknya adalah bahwa mereka terlalu berlebihan melihat marabahaya di luar rumah tangga mereka, mudah panik dan ketakutan melihat situasi yang selalu mereka pikir akan membawa dampak buruk kepada anak. Akibatnya anak-anak mereka menjadi “steril” dengan lingkungannya.

Prodigy Parents –(ORTU INSTANT)
Merupakan kelompok orangtua yang sukses dalam karier namun tidak memiliki pendidikan yang cukup. Mereka cukup berada, namun tidak berpendidikan yang baik. Mereka memandang kesuksesan mereka di dunia bisnis merupakan bakat semata. Oleh karena itu mereka juga memandang sekolah dengan sebelah mata, hanya sebagai kekuatan yang akan menumpulkan kemampuan anak-anaknya.
Tidak kalah mengejutkannya, mereka juga memandang anak-anaknya akan hebat dan sukses seperti mereka tanpa memikirkan pendidikan seperti apa yang cocok diberikan kepada anak-anaknya. Oleh karena itu mereka sangat mudah terpengaruh kiat-kiat atau cara unik dalam mendidik anak tanpa bersekolah. Buku-buku instant dalam mendidik anak sangat mereka sukai. Misalnya buku tentang “Kiat-Kiat Mengajarkan bayi Membaca” karangan Glenn Doman , atau “Kiat-Kiat Mengajarkan Bayi Matematika” karangan Siegfried, “Berikan Anakmu pemikiran Cemerlang” karangan Therese Engelmann, dan “Kiat-Kiat Mengajarkan Anak Dapat Membaca Dalam Waktu 9 Hari” karangan Sidney Ledson.

Encounter Group Parents–( ORTU NGERUMPI )
Merupakan kelompok orangtua yang memiliki dan menyenangi pergaulan. Mereka terkadang cukup berpendidikan, namun tidak cukup berada atau terkadang tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang lantung). Terkadang mereka juga merupakan kelompok orangtua yang kurang bahagia dalam perkawinannya.
Mereka menyukai dan sangat mementingkan nilai-nilai relationship dalam membina hubungan dengan orang lain. Sebagai akibatnya kelompok ini sering melakukan ketidakpatutan dalam mendidik anak-­anak dengan berbagai perilaku “gang ngrumpi” yang terkadang mengabaikan anak. Kelompok ini banyak membuang-buang waktu dalam kelompoknya sehingga mengabaikan fungsi mereka sebagai orangtua. Atau pun jika mereka memiliki aktivitas di kelompokya lebih berorientasi kepada kepentingan kelompok mereka. Kelompok ini sangat mudah terpengaruh dan latah untuk memilihkan pendidikan bagi anak-anaknya. Menjadikan anak-anak mereka sebagai “Superkids” juga sangat diharapkan. Namun banyak dari anak anak mereka biasanya kurang menampilkan minat dan prestasi yang diharapkan.

Milk and Cookies Parents-(ORTU IDEAL)
Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang memiliki masa kanak-kanak yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang sehat dan manis. Mereka cenderung menjadi orangtua yang hangat dan menyayangi anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan.
Kelompok ini tidak berpeluang menjadi orangtua yang melakukan “miseducation” dalam merawat dan mengasuh anak-anaknya. Mereka memberikan lingkungan yang nyaman kepada anak-anaknya dengan penuh perhatian, dan tumpahan cinta kasih yang tulus sebagai orang tua.
Mereka memenuhi rumah tangga mereka dengan buku-buku, lukisan dan musik yang disukai oleh anak-anaknya. Mereka berdiskusi di ruang makan, bersahabat dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi anak-anak mereka untuk tumbuh mekar segala potensi dirinya. Anak-anak mereka pun meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh kenangan indah yang menyebabkan. Kehangatan hidup berkeluarga menumbuhkan kekuatan rasa yang sehat pada anak untuk percaya diri dan antusias dalam kehidupan belajar.
Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang menjalankan tugasnya dengan patut kepada anak-anak mereka. Mereka begitu yakin bahwa anak membutuhkan suatu proses dan waktu untuk dapat menemukan sendiri keistimewaan yang dimilikinya. Dengan kata lain mereka percaya bahwa anak sendirilah yang akan menemukan sendiri kekuatan di dirinya. Bagi mereka setiap anak adalah benar-benar seorang anak yang hebat dengan kekuatan potensi yang juga berbeda dan unik!
Kamu harus tahu bahwa tiada satu pun yang lebih tinggi, atau lebih kuat, atau lebih baik, atau pun lebih berharga dalam kehidupan nanti daripada kenangan indah; terutama kenangan manis di masa kanak-kanak. Kamu mendengar banyak hal tentang pendidikan, namun beberapa hal yang indah, kenangan berharga yang tersimpan sejak kecil adalah mungkin itu pendidikan yang terbaik. Apabila seseorang menyimpan banyak kenangan indah di masa kecilnya, maka kelak seluruh kehidupannya akan terselamatkan. Bahkan apabila hanya ada satu saja kenangan indah yang tersiampan dalam hati kita, maka itulah kenangan yang akan memberikan satu hari untuk keselamatan kita” (destoyevsky’ s brothers karamoz)

PERSPEKTIF SEKOLAH YANG MENGKARBIT ANAK
Kecenderungan sekolah untuk melakukan pengkarbitan kepada anak didiknya juga terlihat jelas. Hal ini terjadi ketika sekolah berorientasi kepada produk daripada proses pembelajaran. Sekolah terlihat sebagai sebuah “Industri” dengan tawaran-tawaran menarik yang mengabaikan kebutuhan anak. Ada program akselerasi, ada program kelas unggulan. Pekerjaan rumah yang menumpuk. Tugas-tugas dalam bentuk hanya lembaran kerja. Kemudian guru-guru yang sibuk sebagai “Operator kurikulum” dan tidak punya waktu mempersiapkan materi ajar karena rangkap tugas sebagai administrator sekolah. Sebagai guru kelas yang mengawasi dan mengajar terkadang lebih dari 40 anak, guru hanya dapat menjadi “pengabar isi buku pelajaran” ketimbang menjalankan fungsi edukatif dalam menfasilitasi pembelajaran. Di saat-saat tertentu sekolah akan menggunakan “mesin-mesin dalam menskor” capaian prestasi yang diperoleh anak setelah diberikan ujian berupa potongan-potongan mata pelajaran. Anak didik menjadi dimiskinkan dalam menjalani pendidikan di sekolah. Pikiran mereka diforsir untuk menghapalkan atau melakukan tugas-tugas yang tidak mereka butuhkan sebagai anak.
Manfaat apa yang mereka peroleh jika guru menyita anak membuat bagan organisasi sebuah birokrasi? Manfaat apa yang dirasakan anak jika mereka diminta membuat PR yang menuliskan susunan kabinet yang ada di pemerintahan? Manfaat apa yang dimiliki anak jika ia disuruh menghapal kalimat-kalimat yang ada di dalam buku pelajaran? Tumpulnya rasa dalam mencerna apa yang dipikirkan oleh otak dengan apa yang direfleksikan dalam sanubari dan perilaku-perilaku keseharian mereka sebagai anak menjadi semakin senjang. Anak-anak tahu banyak tentang pengetahuan yang dilatihkan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum persekolahan, namun mereka bingung mengimplementasikan dalam kehidupan nyata. Sepanjang hari mereka bersekolah di sekolah untuk sekolah? dengan tugas-tugas dan PR yang menumpuk….
Namun sekolah tidak mengerti bahwa anak sebenarnya butuh bersekolah untuk menyongsong kehidupannya! Lihatlah, mereka semua belajar dengan cara yang sama. Membangun 90 % kognitif dengan 10 % afektif. Paulo Freire mengatakan bahwa sekolah telah melakukan “pedagogy of the oppressed” terhadap anak-anak didiknya. Di mana guru mengajar, anak diajar, guru mengerti semuanya dan anak tidak tahu apa-apa, guru berpikir dan anak dipikirkan, guru berbicara dan anak mendengarkan, guru mendisiplin dan anak didisiplin, guru memilih dan mendesakkan pilihannya dan anak hanya mengikuti, guru bertindak dan anak hanya membayangkan bertindak lewat cerita guru, guru memilih isi program dan anak menjalaninya begitu saja, guru adalah subjek dan anak adalah objek dari proses pembelajaran (Freire,1993). Model pembelajaran banking system ini dikritik habis-habisan sebagai masalah kemanusiaan terbesar. Belum lagi persaingan antar sekolah. dan persaingan ranking wilayah….

Mengkompetensi Anak— merupakan ” KETIDAKPATUTAN PENDIDIKAN”
Anak adalah anugrah Tuhan… sebagai hadiah kepada semesta alam, tetapi citra anak dibentuk oleh sentuhan tangan-tangan manusia dewasa yang bertanggungjawab. “(Nature versus Nurture) bagaimana ?” Karena ada dua pengertian kompetensi. kompetensi yang datang dari kebutuhan di luar diri anak (direkayasa oleh orang dewasa) atau kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dari dalam diri anak sendiri.
Sebagai contoh adalah konsep kompetensi yang dikemukakan oleh John Watson (psikolog) pada tahun 1920 yang mengatakan bahwa bayi dapat ditempa menjadi apapun sesuai kehendak kita; sebagai komponen sentral dari konsep kompetensi. Jika bayi-bayi mampu jadi pembelajar, maka mereka juga dapat dibentuk melalui pembelajaran dini.
Kata-kata Watson yang sangat terkenal adalah sebagai berikut : “Give me a dozen healthy infants, well formed and my own special world to bring them up in, and I’ll guarantee you to take any one at random and train him to become any type of specialist I might select — doctor, lawyer, artist, merchant chief and yes, even beggar and thief regardless of this talents, penchants, tendencies, vocations, and race of his ancestors “
Pemikiran Watson membuat banyak orang tua melahirkan “intervensi dini” setelah mereka melakukan serangkaian tes Inteligensi kepada anak-anaknya. Ada sebuah kasus kontroversi yang terjadi di Institut New Jersey pada tahun 1979. Di mana guru-guru melakukan serangkaian program tes untuk mengukur “Kecakapan Dasar Minimum (Minimum Basic Skill)” dalam mata pelajaran membaca dan matematika. Hasil dari pelaksanaan program ini dilaporkan kolomnis pendidikan Fred Hechinger kepada New York Times sebagai berikut : “The improvement in those areas were not the result of any magic program or any singular teaching strategy, they were… simply proof that accountability is crucial and that, in the past five years, it has paid off in New Yersey.”
Juga belajar dari biografi tiga orang tokoh legendaris dunia seperti Eleanor Roosevelt, Albert Einstein dan Thomas Edison, yang diilustrasikan sebagai anak-anak yang bodoh dan mengalami keterlambatan dalam akademik ketika mereka bersekolah di SD kelas rendah. Semestinya kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan dini sangat berbahaya jika dibuatkan kompetensi-kompetensi perolehan pengetahuan hanya secara kognitif.
Oleh karena hingga hari ini sekolah belum mampu menjawab dan dapat menampilkan kompetensi emosi sosial anak dalam proses pembelajaran. Pendidikan anak seutuhnya yang terkait dengan berbagai aspek seperti emosi, sosial, kognitif pisik, dan moral belum dapat dikemas dalam pembelajaran di sekolah secara terintegrasi. Sementara pendidikan sejati adalah pendidikan yang mampu melibatkan berbagai aspek yang dimiliki anak sebagai kompetensi yang beragam dan unik untuk dibelajarkan. Bukan anak dibelajarkan untuk di tes dan di skor saja!. Pendidikan sejati bukanlah paket-paket atau kemasan pembelajaran yang berkeping-keping, tetapi bagaimana secara spontan anak dapat terus menerus merawat minat dan keingintahuan untuk belajar. Anak mengenali tumbuh kembang yang terjadi secara berkelangsungan dalam kehidupannya. Perilaku keingintahuan -”curiosity” inilah yang banyak tercabut dalam sistem persekolahan kita. Akademik Bukanlah Keutuhan Dari Sebuah Pendidikan!. “Empty Sacks will never stand upright” — George Eliot
Pendidikan anak seutuhnya tentu saja bukan hanya mengasah kognitif melalui kecakapan akademik semata! Sebuah pendidikan yang utuh akan membangun secara bersamaan, pikiran, hati, pisik, dan jiwa yang dimiliki anak didiknya. Membelajarkan secara serempak pikiran, hati. dan pisik anak akan menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup mereka. Di sinilah dibutuhkannya peranan guru sebagai pendidik akademik dan pendidik sanubari “karakter”. Di mana mereka mendidik anak menjadi “good and smart ” terang hati dan pikiran.
Sebuah pendidikan yang baik akan melahirkan “how learn to learn” pada anak didik mereka. Guru-guru yang bersemangat memberi keyakinan kepada anak didiknya bahwa mereka akan memperoleh kecakapan berpikir tinggi, dengan berpikir kritis, dan cakap memecahkan masalah hidup yang mereka hadapi sebagai bagian dari proses mental. Pengetahuan yang terbina dengan baik yang melibatkan aspek kognitif dan emosi, akan melahirkan berbagai kreativitas.
Leonardo da Vinci seorang pelukis besar telah menghabiskan waktunya berjam-jam untuk belajar anatomi tubuh manusia. Thomas Edison mengatakan bahwa “genius is 1 percent inspiration and 99 percent perspiration “.
Semangat belajar “encourage” tidak dapat muncul tiba-tiba di diri anak. Perlu proses yang melibatkan hati, kesukaan dan kecintaan belajar. Sementara di sekolah banyak anak patah hati karena gurunya yang tidak mencintai mereka sebagai anak. Selanjutnya misi sekolah lainnya yang paling fundamental adalah mengalirkan “moral litermy” melalui pendidikan karakter. Kita harus ingat bahwa kecerdasan saja tidak cukup. Kecerdasan plus karakter inilah tujuan sejati sebuah pendidikan (Martin Luther King, Jr ). lnilah keharmonisan dari pendidikan, bagaimana menyeimbangkan fungsi otak kiri dan kanan, antara kecerdasan hati dan pikiran, antara pengetahuan yang berguna dengan perbuatan yang baik ….

PENUTUP
Mengembalikan pendidikan pada hakikatnya untuk menjadikan manusia yang terang hati dan terang pikiran “good and smart” merupakan tugas kita bersama. Melakukan reformasi dalam pendidikan merupakan kerja keras yang mesti dilakukan secara serempak, antara sekolah dan masyarakat, khususnya antara guru dan orangtua. Pendidikan yang ada sekarang ini banyak yang tidak berorientasi kepada kebutuhan anak sehingga tidak dapat memekarkan segala potensi yang dimiliki anak. Atau pun jika ada yang terjadi adalah ketidakseimbangan yang cenderung memekarkan aspek kognitif dan mengabaikan faktor emosi.
Begitu juga orangtua. Mereka berkecenderungan melakukan training dini kepada anak. Mereka ingin anak-anak mereka menjadi “SUPERKIDS”. Inilah fenomena yang sedang trend akhir-akhir ini. Inilah juga awal dari lahirnya era anak-anak karbitan! Lihatlah nanti ketika anak-anak karbitan itu menjadi dewasa, maka mereka akan menjadi orang dewasa yang ke kanak-kanakan.

Menumbuhkan dan Memelihara Krativitas Anak

Kreativitas adalah sebuah bagian penting dalam proses pendidikan anak. Apalagi pada masa seperti sekarang ini. Kualitas pendidikan tak diukur dari seberapa banyak materi yang dihafal anak dan kemampuannya mengerjakan soal, tetapi melalui kualitas-kualitas yang lebih substansi seperti kemampuan mengambil keputusan, kreativitas anak, ketrampilan berkarya, moralitas, dan lainnya.

Kreshna Aditya, salah seorang pemrakarsa Bincang Edukasi, membuat slideshow yang menarik tentang kreativitas anak, dari masa ke masa, saat anak usia dini hingga remaja.
Mengutip sebuah penelitian, Kreshna menuliskan bahwa “82% anak usia 5-6 tahun memiliki citra positif akan kemampuan belajarnya. Artinya cuma 18% yang nggak pede. Pada anak usia 16 tahun, angka ini justru berbalik. Proporsi anak yang memiliki citra positif akan kemampuan belajarnya justru turun drastis menjadi hanya 18%.”

Lalu bagaimana menumbuhkan dan mendidik kreativitas anak?
Berikut ini beberapa tips mendidik kreativitas anak:

a. Bangun ruang yang kondusif untuk anak
Jadilah keluarga yang demokratis yang memberikan ruang besar untuk anak. Orangtua membuat koridor dan batasan tentang yang cukup longgar untuk membuat anak tidak takut bertanya, berpendapat, dan mencoba sesuatu. Suasana keluarga yang nyaman adalah atmosfir utama untuk kreativitas anak dan mendidik anak-anak menjadi kreatif.

b. Beri kesempatan dan dorongan untuk kegiatan di luar pelajaran
Dorong anak untuk tak hanya fokus pada pelajaran di sekolah, tetapi juga menekuni hal-hal yang menarik minatnya. Menekuni hobi dan hal-hal yang disukai dapat membantu anak menjadi lebih santai dan kreatif.

c. Dorongan lebih banyak daripada larangan
Anak memang perlu dijaga dari hal-hal yang berbahaya. Itulah sebabnya orangtua sering mengatakan larangan-larangan pada anaknya. Tetapi jika tak ada bahaya pada hal yang dilakukan anak, sebaiknya orangtua mengurangi kata-kata larangan yang mencegah anak untuk berinisiatif dan mencoba sesuatu. Ruang dan dorongan untuk inisiatif yang spontan adalah bagian dari proses pendidikan kreativitas anak.

d. Apresiasi inisiatif dan kerja keras anak
Ketika anak melakukan sebuah inisiatif, kendatipun belum sempurna, berikan dorongan dan pujian untuk inisiatifnya. Juga berikan pujian untuk kerja keras yang dilakukannya. Ini penting dan harus dilakukan dengan tulus. Usai memberikan apresiasi yang tulus, barulah Anda memberikan masukan untuk meningkatkan kualitas karya mereka. Dengan dorongan dan apresiasi, anak merasa nyaman untuk berinisiatif, mencoba, dan berkarya.

e. Perbesar toleransi pada kesalahan dan ketidaksempurnaan
Kreativitas berarti kesempatan banyak mencoba. Banyak mencoba memberikan peluang untuk melakukan kesalahan dan pemborosan. Jika menginginkan terpeliharanya kreativitas anak, toleransi saat anak melakukan kesalahan dan ketidaksempurnaan perlu diperluas karena nilai-nilai kreativitas adalah orisinalitas dan keunikan, bukan efisiensi.

f. Ekspose pada keragaman
Paparkan anak pada produk, proses, dan lingkungan yang heterogen. Keragaman membuka wawasan dan membongkar kesempitan berfikir. Keragaman memperluas dan menambahkan khazanah hati dan pikiran pada anak.


Penentu Kecerdasan Anak

Setiap orang tua tentu ingin mempunyai anak yang cerdas dan sehat. Memberikan gizi yang optimal adalah salah satu caranya. Namun sebenarnya apa saja faktor yang mempengaruhi kecerdasan anak?

Ahli gizi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Saptawati Bardosono menuturkan, ada banyak faktor yang mempengaruhi kecerdasan seorang anak termasuk di antaranya gizi.  "Bukan rahasia lagi, gizi yang baik adalah kunci kecerdasan bagi anak. Namun itu bukan satu-satunya," ungkapnya di sela-sela acara Dancow Parenting Centre Kamis (31/1/2013) di Jakarta.

Secara umum, lanjutnya, ada dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan anak secara umum yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor genetika, sedangkan faktor eksternal yang merupakan lingkungan, meliputi nutrisi, stimulasi, aktivitas fisik, dan upaya penjagaan kesehatan. 

"Itulah mengapa ada anak yang mungkin gizinya kurang baik namun tetap cerdas," kata dokter dengan sapaan akrab Tati ini.

Ia menjelaskan, meskipun dua faktor tersebut sama-sama berpengaruh, namun faktor internal yaitu faktor genetik memiliki kontribusi yang relatif kecil yaitu hanya sekitar 5 persen. Sedangkan faktor eksternallah yang berperan besar yaitu sekitar 95 persen.

"Jadi bukannya mustahil kalau orang tuanya kurang cerdas, namun anaknya bisa cerdas," ungkapnya.

Menyoal ungkapan, "jika ingin anaknya cerdas, ibunya juga harus cerdas", Saptawati mengatakan hal itu ada benarnya. Sebab, pada tubuh seorang ibu-lah anak "dititipkan" saat dalam kandungan. Namun, bukan berarti ayah tidak berperan dalam membentuk kecerdasan bayi. "Ibu dapat membuat anaknya sehat dan cerdas pun tidak terlepas dari peran ayah yang menjaga istrinya saat mengandung. Dan tentu saja merawat anak saat anak sudah lahir," jelasnya.

Kecerdasan anak, kata Saptawati, juga sangat bergantung pada 1.000 hari pertama kehidupan, yaitu sejak masa dalam kandungan hingga usia balita. Maka dari itu, untuk membentuk anak yang cerdas, perlu adanya suatu persiapanan dari orang tua sejak awal merencanakan kehamilan, pungkasnya.

9 Kecerdasan Anak yang Perlu Diketahui Orang Tua

Kecerdasan anak tak hanya diukur melalui ukuran IQ (Intelligence Quotient). Setiap anak memiliki kecerdasan yang majemuk, yakni kecerdasan intelektual (IQ) maupun kecerdasan emosional (Emotional Quotient/EQ). Menurut Howard Gardner salah seorang profesor pendidik dan peneliti dari Harvard University Amerika Serikat, ada 9 aspek kecerdasan seorang anak. Istilah yang sering kita dengar adalah multiple intelligences.
 
Apa sajakah kecerdasan yang terdiri dari 9 kriteria  kecerdasan majemuk tersebut?

1. Kecerdasan musikal
Kecerdasan ini ditunjukkan anak mudah sekali mengikuti dan mengingat lagu. Cara melatihnya adalah dengan mendengarkan musik dan bernyanyi. Mengajarkan anak menyanyikan lagu-lagu sederhana sesuai usia mereka. Melakukan pekerjaan dengan bernyanyi, misalnya saat mandi dan bangun pagi.

2. Kecerdasan Intrapersonal
Berkaitan dengan kemampuan daya tahan, untuk tidak mudah down, gigih berusaha, tidak minder. misalnya ketika  mengikuti perlombaan, tampil depan umum. Cara melatihnya adalah mengajarkan anak untuk terbiasa berada dalam sebuah kelompok dan berinteraksi dengan teman - teman sebayanya.

3.Kecerdasan interpersonal (sosial)
Adalah kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan anak beradaptasi, bekerjasama, berelasi dengan lingkungan teman sebaya dan orang di sekitarnya. Cara melatihnya adalah dengan memberi kesempatan si kecil sering ditemani untuk bergaul bersama teman - teman sebaya, bermain dan berkomunikasi pada anak- anak seusianya.

4. Kecerdasan visual spasial
Adalah kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan memahami pandang ruang. Yakni anak mampu membedakan posisi dan letak serta membayangkan ruang, Di kanan, kiri, atas, bawah, depan, belakang dan samping.
Cara melatihnya adalah setiap melakukan kegiatan yang berhubungan dengan posisi atau ruang hendaknya orang tua selalu sambil menyebutkan, misal : Tolong dong, adik letakkan bukunya di atas meja, atau tolong kakak ambilkan buku yang jatuh di bawah meja. Sebutkan lokasi ruang, ajarkan si kecil melipat, menggunting, membalik dan menggambar.

5. Kecerdasan natural (alam)
Anak diperkenalkan dengan lingkungan hidup selain manusia , yaitu binatang, tumbuhan dan beraneka suasana alam, misalnya sesekali ajak anak memberi makan pada ikan atau ke kebun binatang, mengunjungi taman flora dan bermain di alam terbuka.

6. Kecerdasan kinestetik tubuh
Anak memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan yang melibatkan tubuh misalkan gerakan tubuh saat berdoa,  menggambar, melompat, berlari dan olahraga yang menggerakkan tubuh, menari, senam dan sebagainya. Cara melatihnnya ajak anak untuk latihan mencoret dan menggambar garis, lingkaran, melakukan gerakan senam dan menari.

7. Kecerdasan moral
Yaitu kepekaan anak untuk meresap kepatuhan dalam berperilaku yang baik, misalnya tahu mengucapkan terimakasih, maaf, permisi dan membedakan perbuatan baik dan buruk, bisa menahan diri untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap tata cara kesopanan.  Caranya adalah melatih dalam kelompok bermain dan melakukan peraturan peraturan dalam permainan, ajarkan anak patuh dan memahami aturan sederhana misalnya bermain petak umpet.

8. Kecerdasan verbal linguistik
Anak dapat berbicara dan menceritakan suatu kejadian yang dilihatnya dengan mudah, terangkai dengan baik dan kronologis kejadian tidak melompat lompat. Cara melatihnya adalah sejak dalam kandungan dan setelah lahir anak sering diajak bercakap cakap, berbicara dengan orangtua, teman sepermainan, menceritakan dongeng dan menyanyikan lagu anak - anak.

9. Kecerdasan logika matematika
Kecerdasan ini berkaitan dengan kemampuan anak untuk memahami persoalan dan memecahkan teori sederhana yang berkaitan dengan angka. Cara melatihnya adalah mengajarkan anak mengelompokkan mainan yang dimiliki, menghitung buah buahan dan membagikan makanan kecil dan menyebutkan jumlah yang diberikan, mengelompokkan benda mainan seperti dadu berwarna, mainan berbentuk buah dan bunga.

Setiap anak terlahir unik

Jika menemukan kesulitan dengan tahapan perkembangan anak , ibu boleh diskusikan dengan dokter anak atau boleh juga dengan bidan yang telah mengikuti pelatihan untuk KPSP, oya KPSP ini Kuisioner Pra Skrining Perkembangan. Ada beberapa alat dan instrumen juga kuisioner untuk mengukurnya sesuai dengan tahapan dan perkembangan usia.
Setiap anak terlahir unik dan  siap mendapat stimulasi kecerdasan majemuk yang kita berikan di usia emas pertumbuhannya terutama sejak lahir hingga  usia 2 tahun. Dengan rangsangan kecerdasan yang tepat di dukung gisi yang sehat seimbang untuk Balita, akan membantu setiap anak untuk berkembang sesuai tahapan.

Faktor internal dan eksternal  juga sangat berpengaruh, oleh karena itu jaga agar anak tetap sehat selama masa pertumbuhan, penuhi kebutuhan akan kasih sayang dan rasa aman. Tentu ada yang menonjol dari tiap anak dari sembilan kecerdasan majemuk dalam diri seorang anak kelak, namun sebagai orangtua kita berusaha untuk mengembangkan kesembilannya pada saat usia BALITA
Selamat mendampingi putra-putri tercinta dan jangan lupa untuk terus merangsang kecerdasan majemuk agar anak - anak tumbuh dan berkembang sehat sesuai usia.