Minggu, 17 Februari 2013

Asah Kreativitas Anak Tanpa Banyak Kata "Jangan"

Budaya melarang dan tidak mentolerir kegagalan diyakini akan berdampak pada generasi yang tidak berani berkreasi dan lebih suka berada dalam zona nyaman. Terlalu banyak kata "jangan" dan "tak boleh" akan mematikan kreativitas anak-anak yang tentunya akan berdampak pada pembangunan bangsa ini ke depannya.

Pendiri Indonesia Heritage Foundation, Ratna Megawangi, mengatakan bahwa umumnya anak-anak ini tumbuh menjadi pengekor saja karena takut salah. Mereka tidak berani mengembangkan diri dan mengeluarkan ide kreatif karena ada kekhawatiran tidak sesuai dengan apa yang diajarkan guru di sekolah.

"Seringkali anak dimarahi karena jawaban tidak sesuai padahal sebenarnya tidak salah. Akhirnya, anak-anak ini cari aman dengan menjawab apa yang diinginkan guru," kata Ratna, saat National Educators Conference di Mulia Business Park, Jakarta, Selasa (11/12/2012).

Untuk itu, para guru harusnya mulai membuka diri terhadap jawaban anak-anak dan menghargai proses anak dalam memperoleh jawaban. Dengan cara seperti itu, anak-anak tidak akan takut berkreasi dan berani berimajinasi serta mengambil risiko untuk menciptakan sesuatu yang baru.

"Orang tua juga sama. Jangan terus memarahi saja karena nilai jelek. Tapi tanyakan apa kendalanya, ajak cari solusi bersama. Yang ada sekarang karena takut nilai jelek, anak-anak berlomba dapat nilai bagus tanpa mempedulikan sekitar. Tidak bagus juga untuk tumbuh kembangnya," jelas Ratna.

Hal senada juga diungkapkan oleh perwakilan dari Mien R. Uno Foundation, Sandiaga Uno. Ia bercerita bahwa sejak kecil telah dibiasakan oleh orang tuanya untuk tidak mudah menyerah dalam mencapai sesuatu. Tidak hanya itu, ia juga dididik berdiskusi dan didorong untuk mencari jalan keluar dari masalah-masalah kecil yang sedang dihadapi.

"Orang tua saya tidak hanya sekadar mengatakan apa yang harus dilakukan. Tapi mereka terus mendorong saya untuk berusaha mencari jawaban dan solusi," ujar Sandi.

"Kalau gagal juga tidak terus dimarahi tapi justru diberi semangat terus untuk bangkit biar si anak mau mencoba lagi," tandasnya.

Periode Sensitif Anak Menurut Montessori

Pendidikan dimulai sejak lahir. Tahun-tahun pertama adalah masa-sama sangat formatif, paling penting bagi anak untuk membangun pondasi dirinya, baik secara fisik maupun mental.
Menurut Maria Montessori, tokoh pendidikan Italia yang pemikirannya banyak dipakai hingga saat ini, seorang anak mempunyai hal yang disebut periode-periode sensitif (sensitive periods). Selama masa ini, anak secara khusus mudah menerima stimulasi-stimulasi tertentu.
Pengenalan mengenai periode-periode ini akan membantu orangtua untuk membantu anak memahami dan menguasai lingkungannya. Selain itu, orangtua dapat memberikan stimulus yang tepat kepada anak pada waktu yang tepat dengan cara mengamati apa yang terjadi pada anak.
Periode-periode sensitif itu menurut Maria Montessori adalah:
  • Lahir – 3 tahun: pikiran dapat menyerap pengalaman-pengalaman sensoris
  • 1,5 – 3 tahun: perkembangan bahasa
  • 1,5 – 4 tahun: koordinasi dan perkembangan otot, minat pada benda-benda kecil
  • 2 – 4 tahun: peneguhan gerakan, minat pada kebenaran dan realitas, menyadari urutan dalam waktu dan ruang
  • 2,5 – 6 tahun: peneguhan sensoris
  • 3 – 6 tahun: rawan pengaruh orang dewasa
  • 3,5 – 4,5 tahun: menulis
  • 4 – 4,5 tahun: kepekaan indera
  • 4,5 – 5,5 tahun: membaca
(Sumber: Montessori untuk pra-sekolah, Elizabeth G. Hainstock)

sumber

4 Dampak Negatif 'Gadget' pada Prestasi Anak

Gadget tidak hanya membuat anak cuek selama berjam-jam, tapi juga disinyalir dapat menurunkan prestasi anak kelak saat ia masuk jenjang sekolah. Ini sesuai dengan pengamatan sederhana Sekolah Putik Indonesia terhadap empat siswanya, yang duduk di kelas yang sama dan mendapat perlakuan sama.

Pengamatan ini dimulai sejak mereka duduk di kelas Dede (pendidikan untuk anak usia prasekolah). Tiga siswa memiliki usia yang sama yakni tiga tahun, sedangkan yang satu 2,5 tahun. Keempat siswa ini memiliki kemampuan sama, yang membedakan adalah hobinya.

Tiga siswa senang menggunakan gadget, sedangkan yang satu (berusia 2,5 tahun) lebih menyukai membaca dan tidak tergila-gila dengan gadget. Dalam kesehariannya, tiga siswa ini aktif memainkan gadget. Berdasarkan pengamatan perilaku di rumah, dari ketiga anak itu, satu anak bermain gadget secara tidak terkontrol, atau mendapat kebebasan penuh untuk menggunakan gadget. Sedangkan dua anak lainnya terkontrol. Artinya, mereka diizinkan menggunakan gadget namun ada batasan waktu, meski tidak terlalu ketat. Dalam artian bisa lebih dari satu jam, namun tetap tidak diberi kebebasan penuh.

Sepanjang mengikuti jenjang pendidikan di Sekolah Putik Indonesia, keempat siswa ini selalu satu kelas, sehingga sepanjang mengikuti pendidikan di sekolah, mereka mendapat perlakuan sama. Hasilnya, terlihat saat mereka duduk di bangku sekolah dasar. Prestasi tiga anak yang terpapar gadget terlihat menurun dibandingkan satu siswa yang tidak terpapar gadget.

Sementara, anak yang rajin membaca dan tidak terpapar gadget, prestasinya semakin baik, bahkan mampu melampaui anak-anak yang terpapar gadget. Menurut hasil pengamatan pihak sekolah, gadget dapat memengaruhi beberapa perkembangan dan prestasi belajar anak, yakni:

1. Mengalami penurunan konsentrasi.
Anak mengalami penurunan konsentrasi saat belajar. Konsentrasinya menjadi lebih pendek dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Anak lebih senang berimajinasi seperti dalam tokoh game yang sering ia mainkan menggunakan gadget-nya.

2. Memengaruhi kemampuan menganalisa permasalahan.

Ketika belajar, anak tidak mau mencari data dan tidak tertantang untuk melakukan analisis. Anak menginginkan sesuatu yang serba cepat dan langsung terlihat hasilnya. Ada pun proses untuk mencapai hasil akhir itu tidak dipedulikan.

3. Malas menulis dan membaca.
Gagdet menjadikan anak malas menulis dan membaca. Dengan perangkat gadget, maka aktivitas menulis menjadi lebih mudah, ini memengaruhi keterampilan menulis anak. Tak hanya itu, perangkat visual pun tampak lebih menarik dan menggoda, karena dapat memperlihatkan sesuai dengan kenyataan. Akibatnya anak-anak menjadi malas membaca. Sebab, membaca menuntut anak untuk mengembangkan imajinasi dari kesimpulan yang dibaca.

4. Penurunan dalam kemampuan bersosialisasi.
Anak menjadi tidak peduli dengan lingkungan sekitar serta tidak memahami etika bersosialisasi. Anak tidak tahu, bila ada banyak orang menginginkan sesuatu yang sama, maka wajib antre agar tertib. Ini terjadi karena anak tidak memahami adanya sebuah proses. Apa yang diinginkan harus segera ada dan terwujud, karena terbiasa mendapat pemahaman melalui games atau tontonan.